Fenomena menurunnya kontribusi kelas menengah dalam mendukung ekonomi Indonesia memang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Menurut laporan dari World Bank yang berjudul ‘Aspiring Indonesia-Expanding the Middle Class’, kelas menengah adalah orang-orang yang memiliki pengeluaran antara Rp1,2 juta hingga Rp6 juta per bulan per kapita. Sedangkan mereka yang memiliki pengeluaran antara Rp532 ribu hingga Rp1,2 juta per bulan per kapita termasuk dalam kelompok calon kelas menengah (aspiring middle class/AMF), dan masyarakat dengan pengeluaran antara Rp354 ribu hingga Rp532 ribu per bulan per kapita masuk dalam kelas rentan.
Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, mengakui bahwa persentase kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan. Namun, ia berpendapat bahwa penurunan ini tidak begitu drastis karena sebagian besar dari mereka beralih profesi menjadi pekerja mandiri yang belum terdata secara akurat. Menurut Suharso, pola kerja work from home (WFH) selama pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor penurunan kelas menengah. Beberapa anak muda bahkan memilih untuk menjadi freelancer di perusahaan asing karena pekerjaan mereka dapat dilakukan dari jarak jauh.
Suharso juga mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan bahwa jumlah kelas menengah telah menyusut menjadi di bawah 20 persen. Oleh karena itu, pemerintah akan melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui ke mana arah kelas menengah tersebut berpindah.
Meskipun jumlah kelas menengah mengalami penurunan, Suharso meyakini bahwa mereka tidak turun kelas menjadi miskin. Ia mengklaim bahwa jumlah masyarakat miskin juga mengalami penurunan, meski tidak merinci angkanya secara spesifik.
Dengan berbagai tantangan ekonomi yang dihadapi, tren penurunan jumlah kelas menengah di Indonesia tidak bisa diabaikan. Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS yang diolah oleh Bank Mandiri menunjukkan bahwa proporsi kelas menengah dalam struktur penduduk Indonesia pada tahun 2023 hanya mencapai 17,44 persen, turun dari 21,45 persen pada tahun 2019.
Penurunan jumlah kelas menengah ini berbanding terbalik dengan peningkatan jumlah kelompok rentan. Jumlah masyarakat rentan meningkat dari 68,76 persen pada tahun 2019 menjadi 72,75 persen pada tahun 2023.
Krisis ekonomi di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh penurunan daya beli kelas menengah, tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat. Deflasi yang terjadi selama beberapa bulan berturut-turut menjadi salah satu indikator kondisi ekonomi yang tidak stabil.
Ekonom senior Indef, Didik J Rachbini, mengungkapkan bahwa deflasi dapat menjadi alarm bagi ekonomi. Meskipun harga barang menjadi lebih rendah, namun hal ini juga dapat mengindikasikan bahwa masyarakat kesulitan untuk mengkonsumsi barang-barang kebutuhan mereka.
Deflasi yang terus-menerus dapat menyebabkan dampak negatif yang luas terhadap perekonomian, terutama jika pemerintah tidak mengambil langkah-langkah yang tepat. Didik juga menyoroti masalah pengangguran yang semakin berat, terutama di sektor informal.
Dalam situasi seperti ini, dunia usaha merasakan beban yang semakin berat. Kadin melihat bahwa biaya produksi harus dipangkas, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan pemotongan jumlah pekerja. Upah pun bisa mengalami stagnasi atau penurunan, yang kemudian dapat mengurangi permintaan secara keseluruhan dalam perekonomian.
Didik menyarankan agar pemerintah lebih berhati-hati dalam menghadapi kondisi ekonomi saat ini, dan menghindari resesi yang dapat merugikan Indonesia. Ia menekankan pentingnya pengembangan ekonomi di sektor riil, terutama di sektor industri, untuk mengatasi masalah konsumsi rendah dan memperbaiki kondisi ekonomi secara keseluruhan.