Menantang! Warga Jaksel Terjebak di Myanmar, Butuh Rp478 Juta untuk Bebas!

Seorang warga Jakarta Selatan (Jaksel) bernama Suhendri Ardiansyah diduga menjadi korban penyekapan di Myanmar. Keluarganya telah melaporkan kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) ini ke Bareskrim Polri. “Saat ini, fokus kami adalah meminta pemerintah dan kepolisian Indonesia untuk memulangkan Hendri,” kata Yohanna, sepupu Suhendri, di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, pada hari Senin (12/8). Yohanna mengungkapkan bahwa ini adalah kunjungan ketiganya ke Bareskrim Polri, Jakarta Selatan. Pada kunjungan kedua, dia disarankan untuk berkonsultasi dengan tim Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan TPPO. Kali ini, ia membuat pengaduan masyarakat (dumas) disertai dengan penyerahan bukti-bukti.

“Salah satu buktinya adalah percakapan chat antara Hendri dan temannya yang mengajak. Selain itu, ada juga laporan dari Kemenlu dan BP2MI serta rekaman suara yang kami serahkan dalam bentuk flash disk,” ujar Yohanna. Yohanna juga mengaku sudah melapor ke Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). Pihak Kemenlu meminta keluarganya untuk menunggu perkembangan dan memastikan akan memberikan informasi terbaru kepada keluarga. “Terkait Kemenlu, kemarin kami mendapat kabar bahwa mereka baru berhasil memulangkan satu WNI pada tanggal 30 Juli. Prosesnya bertahap, seperti kloter. Entah sepupu saya ini termasuk dalam kloter ke berapa, kami tidak tahu,” ungkap Yohanna. Yohanna menceritakan awal mula saudaranya menjadi korban penyekapan di Myanmar. Dia menjelaskan bahwa Suhendri awalnya diajak bekerja di Thailand oleh temannya, Risky. Suhendri yang sedang menganggur tergiur dengan ajakan tersebut, terutama karena Risky sudah berada di Negeri Gajah Putih itu. “Risky mengabarkan bahwa bosnya sedang mencari tenaga kerja dan dia disuruh mencari 10 orang untuk membentuk satu tim,” tutur Yohanna.

Suhendri yang sudah akrab dengan Risky tidak ragu berangkat ke Thailand pada 11 Juli 2024. Di hari yang sama ketika tiba di Thailand, Suhendri langsung bertemu dengan Risky dan diajak ke penginapan. Selama empat hari di Thailand, Suhendri masih bersama Risky dan komunikasi dengan keluarga berjalan lancar. Namun, setelah empat hari, Risky mengaku mendapat arahan dari bosnya untuk memberangkatkan Suhendri lebih dulu ke perusahaan yang berada di Mae Sot, sebuah kota di Thailand. “Risky disuruh mencari 10 orang lagi, tapi kenapa tidak menunggu sampai timnya lengkap? Katanya, ‘Tidak apa-apa, kita berangkatkan saja dulu Hendri. Kami juga sudah menyiapkan tempat di perusahaan di sana’,” ucap Yohanna. Suhendri kemudian berangkat bersama Risky ke sebuah terminal dengan mobil yang sama. Setibanya di terminal, Risky dan Suhendri berpisah karena Risky disuruh tetap tinggal di Thailand untuk menunggu kloter kedua yang masih kurang sembilan orang. Suhendri kemudian berangkat bersama beberapa orang India ke Mae Sot. Namun, setelah delapan jam perjalanan, Suhendri mulai curiga karena belum sampai di Mae Sot. Dia pun bertanya kepada Risky melalui pesan singkat.

Risky meminta Suhendri untuk tetap berpikir positif dan mengikuti arahan bos. “Setelah empat jam berlalu, jadi total perjalanan sekitar 12 jam, Hendri tiba-tiba sampai di Myanmar. Begitu turun, dia langsung chat Risky, ‘Ky, ternyata gue nyampenya di Myanmar, bukan di Mae Sot’. Perusahaan yang disebutkan bos ternyata jauh dari ekspektasi, tempatnya jorok, kotor, kumuh, sama sekali tidak seperti kantor, lebih mirip rumah susun yang sangat kumuh,” jelas Yohanna. Risky yang telah pulang ke Indonesia pada 30 Juli 2024 mengaku sudah tidak berkomunikasi lagi dengan Suhendri. Hal ini, menurut Yohanna, menjadi tanda tanya besar bagi keluarga. Sebab, Risky yang mengajak Suhendri justru bisa kembali ke Tanah Air dengan selamat. “Sedangkan kami mendapat telepon dari Hendri yang mengatakan bahwa dia di sana disekap dan disiksa karena orang-orang di sana meminta tebusan sebesar 30 ribu USD.

Selama uang itu belum dikirim, Hendri selalu disiksa setiap kali dia menelepon kami. Dia juga tidak diberi makan, bahkan untuk minum pun dia harus menunggu hujan,” ungkap Yohanna. Komunikasi terakhir dengan Suhendri, para pelaku penyekapan meminta 30 persen dari 30 ribu USD jika keluarganya tidak sanggup membayar penuh. Yohanna menyebut jika dihitung-hitung nilainya masih di atas Rp100 juta. Sedangkan, Suhendri berasal dari keluarga yang tidak mampu. “Dia pun mau berangkat ke sana untuk mendapatkan gaji yang besar, untuk membahagiakan keluarganya. Tapi, kenyataannya dia malah ditawan dan dimintai tebusan,” katanya.

Bahkan, pelaku penyekapan disebut meminta 30 persen uang tebusan itu disertai ancaman. Pelaku mengancam akan mengamputasi kaki dan tangan Suhendri jika uang tidak segera dikirim dalam waktu empat hari. “Saya hanya bisa berdoa semoga itu hanya gertakan saja. Kami benar-benar tidak mampu secara finansial. Oleh karena itu, pihak keluarga hanya bisa meminta bantuan dari pemerintah dan kepolisian,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *